Karakter Pendidik Yang Diinginkan Sang Murid

02/10/2012 11:13

 

Oleh :

Meiliwati

Siswi Kelas X SMAK Samaria Kudus

Jakarta Barata


 --artikel-indonesia.com--

“Ada seorang anak yang sangat serius saat mengikuti pelajaran Matematika, tetapi ia sangat malas dan mengantuk saat mengikuti pelajaran Geografi.”

Tingkah laku dan cara mengajar pendidik di kelas sangat berpengaruh terhadap hubungan timbal balik yang akan ditunjukkan siswa. Hubungan timbal balik yang dimaksud di sini ialah respon yang ditunjukkan seorang murid terhadap gurunya yang mengajar di dalam kelas, baik tingkah laku maupun pola pikirnya.

Apa yang akan terjadi bila guru yang mengajar dalam kelas tidak memiliki semangat untuk mengajar ? bagaimanakah dengan sang murid ?

Guru adalah sumber pokok dari kata “belajar”. Hal apa pun yang kita lakukan tidak akan mungkin bisa kita lakukan bila kita tidak memiliki guru. Ada guru yang berpendapat bahwa dialah yang paling benar. Dia tidak merasa perlu belajar mendengarkan celotehan anak didiknya.

Bagaimana anak didi akan menyerap apa yang disampaikan oleh sang guru apabila gaya mengajar sang guru sangat membosankan ? tariklah sebuah contoh, pada saat pelajaran Sejarah, sang guru menceritakan tentang masa lalu Kerajaan Majapahit. Hal yang ia ceritakan memang benar. Tetapi, gayanya dalam menceritakan yang menjadi problem. Ia bercerita seolah-olah untuk dirinya sendiri.

Berbeda dengan guru yang mengerti cara “menjilat” minat anak untuk belajar. Ia pasti mencari cara agar sang anak dapat sangat tertarik dengan pelajaran tersebut. Ada guru yang menjelaskan materi diberi sentuhan humoris, lelucon, ceria pada zamannya kanak-kanak, boleh makan dan minum di saat pelajaran, nilai pancingan, bahkan uang pancingan. Secara fakta, cara mengajar seperti itu sangat membubuhkan minat belajar bagi siswa. Secara otomatis, sang anak merasa tidak tegang, dan menerapkan system “sersan” (serius tapi santai) dalam proses belajarnya.

Lain halnya dengan sang pendidik yang menerapkan system “killer” dalam gayanya mengajar. Sewaktu guru berada di depan kelas, serentak anak didik merasa takut. Sampai sang pendidik duduk di sebuah kursi di pojok kelas, seluruh murid tetap diam seribu bahasa. Sang pendidik pun mulai mengajar dengan menyuruh murid membuka buku, lalu ia membaca materi pelajaran hanya dari buku secara berurutan. Selama ia mengajar, papan tulis terlihat bersih karena tidak tersentuh oleh tulisannya.

Ketika ada siswa yang bertanya, dia menjawab dengan keras dan tajam, “ Kamu punya telinga nggak ? kamu mengerti nggak apa yang kamu tanyakan sekarang ? sudah duduk kamu!”

Pada dasarnya, sebuah pertanyaan itu timbul karena ada sesuatu yang membuatnya tidak mengerti dan adanya rasa keberanian dari sang murid tersebut. Jika mengerti, murid tersebut tidak akan bertanya pada sang guru. Sebenarnya, siapakah yang salah dalam kejadian ini ? sang murid atau sang pendidik ?.

Satu hal yang saya ingin saya tekankan di sini, “ Maksimalkanlah profesi kami sebagai murid.” Mungkin hampir seluruh guru merasa bahwa jabatan guru adalah jabatan yang lebih tinggi daripada jabatan sebagai murid. Argumentasi tersebut memang benar. Jabatan sebagai seorang guru mungkin suatu saat dapat tergantikan. Tetapi, panggilan sebagai seorang pendidik akan melekat pada diri sang guru selama 24 jam hingga akhir hayatnya.

Saya juga sebagai kaum pelajar juga tidak menuntut banyak. Kami memang tidak berhak mengubah pola pengajaran dari sang pendidik. Tetapi, lihatlah dan pandanglah kami seperti sebatang pohon yang sedang mengeluarkan ranting-ranting baru. Ranting tersebut dapat patah apabila kami tidak mendapatkan pegangan yang kuat. Kami juga tidak dapat mengemis ilmu hanya dari buku. Kami butuh guru yang mampu mendidik kami.

Semoga para guru dapat bercermin diri dan belajar menguasai diri dalam mendidik anak muridnya di dalam kelas.

 

.

Sumber : link


Web Lainnya